Selasa, 05 Juli 2011

BUKU YANG TIDAK TERGANTIKAN

Islam adalah agama yang syamil dan muttakamil, sebuah agama yang yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Dibuktikan dengan ilmu pertama kali yang Allah ajarkan kepada Nabi adam AS, adala ilmu tentang bahasa yaitu dengan penyebutan dan penamaan benda-benda. Kemudian wahyu yang Allah turunkan pertama kali kepada Rasulullah Muhammad SAW adalah perintah membaca. “Iqra bismi Rabbika ..., bacalah dengan nama Tuhanmu..” Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah bersabda bahwa ilmu itu adalah milik kaum muslimin, maka dimana pun kita menemukannya kita harus memungut dan mengambilnya “Kebijaksanaan adalah tongkat yang hilang bagi seorang mukmin. Dia harus mengambilnya dari siapa saja yang didengarnya, tidak peduli dari sumber mana datangnya.” (HR. Ibnu Hibban). Sejalan dengan hadits diatas ada hadits lain yang berbunyi “undzur ma qola wala tandzur man qola, Lihat apa yang dibicarakan jangan melihat siapa yang berbicara”. Semua itu adalah bukti penghargaan islam terhadap ilmu pengetahuan. Mengajarkan untuk selalu belajar dan menuntut ilmu di manapun berada. Sejalan dengan itu, Imam Asy-Syafi’i menganalogikan Ilmu sepertihalnya sebuah hewan buruan yang tali kekangnya adalah pena dan kertas maka kokohkanlah tali kekangnya agar tidak terlepas binatang buruan itu dengan menuliskannnya. Maka dari sinilah awal mulanya sebuah penerbitan buku.
Menulis selain untuk menjaga ilmu agar tidak terlepas, adalah untuk eksistensi sebuah pengetahuan. Kita tahu mesir kuno adalah peradaban besar dan tinggi kebudayaannya Bahkan hingga saat ini, meski peradaban nya saat ini telah punah. Tapi orang-orang jaman sekarang tetap dapat melihat dan menginsyafi bahwa dahulu kala ada sebuiah peradaban besar diterpian sungai nil bernama peradaban mesir kuno. Semua itu bisa terlihat dari adanya peninggalan-peninggalan berupa tulisan-tulisan yang kita kenal dengan hieroglyph. Maka bisa disimpulkan bahwa tulisan atau karya tulis merupakan warisan kebudayaan yang tinggi. Selain itu dengan menuliskannya, keotentikan suatu ilmu dapat terjaga keasliannya. Hal ini terjadi pada proses penulisan ulang Al-Quran pada masa kekhilafahan Abu bakar Ash Shidiq ra, Beliau mengambil inisiatif pengumpulan dan penulisan ulang al-quran. Karena ketika itu terjadi perang besar yang membuat banyak para hafidz Quran syahid. Maka beliau mengambil inisitiatif untuk pengumpulan dan penulisan ulang Al-Quran dengan Zaid ‘ibn Tsabit sebagai pimpinan pelaksananya. Karena kafa’ah beliau sebagai assistant dan sekretaris Rasulullah . selain itu beliau lah sahabata yang paling banyak mendengar langsung wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Itulah sedikit sirah tentang kenapa menulis menjadi sebuah langkah untuk penjagaan suatu ilmu baik dari segi keotentikan nya juga dari aspek historisnya dikemudian hari, agar generasi berikutnya dapat mengerti bahwa pernah ada suatu grand teori atau ilmu atau peradaban besar.

ISLAM DAN BUKU
Bicara tentang kepenulisan tidak pernah lepas dari bicara tentang perbukuan. Karena buku merupakan output atau hasil dari sebuah proses penulisan. Seperti Mushaf Al-Quran, adalah hasil proses penghimpunan kembali dan penulisan ulang wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Masa keemasan perbukuan dalam islam dimulai ketika masa kekhalifaan bani Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid (786-813 M), Tokoh yang popular dalam kisah 1001 malam arun al-Rasyid memang dikenal sebagai pencinta ilmu pengetahuan, sastra dan filsafat, serta pelindung besar perkembangan seni dan penerbitan buku. Begitu pula putranya khalifah al-Makmun (813-847 M). Pada zaman pemerintahan dua sultan inilah dunia penulisan dan penerjemahan buku berkembang pesat, menjadikan Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban terbesar di dunia selama beberapa abad.
Menurut Ahmad Samantho Ada beberapa faktor yang menyebabkan ilmu dan penulisan buku berkembang pesat pada waktu itu. Ahli-ahli sejarah Islam mencatat di antara faktor-faktor itu ialah:
1. Pertama, adanya hubungan yang dinamis antara kebudayaan Arab dengan kebudayaan lain yang telah maju sebelum datangnya agama Islam, misalnya Mesir, Babylonia, Yunani, India, Persia dan Cina.
2. Kedua, sejak abad ke-9 M di negeri-negeri Islam telah tumbuh pusat-pusat kebudayaan yang satu dengan yang lain saling berlomba mengembangkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Misalnya Madinah, Mekkah, Fustat, Qairwan, Baghdad, Kurtuba (Cordova), Damaskus, Kufa, Basra, Nisyapur, Isfahan dan lain-lain.
3. Ketiga, lembaga-lembaga pendidikan dan ilmu berkembang pesat mengikuti perkembangan masjid dan lembaga keagamaan.
4. Keempat, raja-raja Muslim, amir, bangsawan kaya, saudagar dan menteri-menteri yang berpengaruh memberikan dorongan dengan dana yang melimpah bagi perkembangan tersebut.
5. Kelima, terdapat kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat yang dijamin oleh undang-undang. Walaupun pendapat-pendapat yang dikemukakan sering bertentangan dengan pandangan resmi kerajaan, namun pendapat dan gagasan yang bernas dibiarkan tumbuh. Sedang pemikiran dan pendapat yang dangkal mendapatkan kritik keras. Bahkan di antara khalifah-khalifah Abbasiyah sendiri terdapat beberapa pemimpin yang toleran dan lapang dada menerima perbedaan pendapat dan kritik, terutama Harun al-Rasyid dan al-Makmun. Pada masa itu di berbagai pelosok negeri Islam terdapat banyak pencinta buku. Pemerintah dan swasta berlomba-lomba mendirikan perpustakaan.
6. Faktor yang tidak kalah penting ialah terbongkarnya rahasia pembuatan kertas di Cina melalui tawanan-tawanan Cina yang ditangkap di Samarqand dalam beberapa pertempuran antara Baghdad dan negeri Cina. Setelah cara-cara pembuatan kertas dipelajari secara mendalam, serta dilakukan percobaan berulang kali, maka orang-orang Islam pun segera dapat membuat kertas dengan tehnik yang setara dengan tehnik orang-orang Cina. Pada tahun 800 M Harun al-Rasyid meresmikan pembangunan pabrik kertas pertama terbesar di dunia Islam. Pabrik kertas di Baghdad ini adalah pabrik kertas pertama terbesar di luar Cina.
Lima belas tahun kemudian khalifah mendirikan Khizanat al-Hikmah, sebuah pusat perbukuan dan perpustakaan besar. Berkat kecintaan khalifah pada buku, lembaga ini berkembang pesat. Ratusan manuskrip dalam berbagai bahasa, berisi teks berbagai ilmu pengetahuan, sastra dan filsafat, berhasil dikumpulkan dari berbagai negeri. Sampai pertengahan abad ke-9 M koleksi buku lembaga ini mencapai kurang lebih satu juta. Seorang ahli sejarah yang berkunjung ke Baghdad pada tahun 891 M melaporkan bahwa pada waktu itu terdapat tidak kurang 800 perpustakaan di Baghdad, milik pemerintah dan swasta.

buku yang tumbuh sejak permulaan tarikh Islam itu dibuktikan dengan munculnya perpustakaan pertama untuk dunia Islam di Damaskus pada tahun 704 M, yang didirikan oleh khalifah Khalid bin Yazid, cucu Muawiyah bin Abi Sufyan sang pendiri Daulah Umayyah. Khalid bin Yazid sendiri adalah seorang ahli kimia. Dia pernah belajar pada seorang pendeta Yunani bernama Niryamus dan telah menulis tiga buah buku mengenai ilmu kimia. Ibn al-Nadim yang mengunjungi perpustakaan Khalid pada tahun 987 M menuturkan bahwa di antara koleksi kesayangan Khalid ialah buku-buku kedokteran, astronomi dan kimia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar