Selasa, 16 Oktober 2012

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM


BAB   I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang
Saat ini Indonesia sebagai salah satu negeri kaum muslimin terbesar telah didera oleh berbagai keterpurukan, yang diantara penyebab keterpurukan tersebut terjadi karena kekeliruan dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasionalnya. Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini maka terdapat beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat difahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam penyelenggaran sistem pendidikan.
Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Perlu difahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus memarjinalkan peranan Tuhan.
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi dari avatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003.
UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb). Kemudian dalam cakupan yang lebih operasional, maka peraturan menteri; peraturan daerah yang dibuat para gubernur, walikota/bupati; serta keseriusan para anggota DPRD juga memiliki andil yang besar untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan nasional dalam lingkup daerah.
Adapun berkembangnya dinamika sosial sebagai bentuk aksi-reaksi masyarakat terhadap keberlangsungan berbagai bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial-budaya, bahkan ideologi) ditengah-tengah mereka juga turut mempengaruhi dinamika pendidikan, karena berbagai bidang kehidupan tersebut realitasnya merupakan subsistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu sistem yang lebih besar yaitu sistem pemerintahan. Pendidikan merupakan salah satu subsistem yang sentral, sehingga senantiasa perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan dalam menjaga kontinuitas proses kehidupan dalam berbagai aspek di tengah-tengah masyarakat (negara) tersebut (input-proses-output). Demikian, dalam upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional ternyata memerlukan adanya perbaikan pula dalam aspek sistemik (regulasi) serta meningkatnya kontrol sosial dari masyarakat.

B.      Rumusan  Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan dan membatasi masalah sebagai berikut:
1.   Apakah problem-problem pendidikan di Indonesia ?
2.   Bagaimanakah  upaya-upaya mengatasi problem pendidikan di Indonesia ?

C.      Tujuan Pembahasan
Pada akhirnya makalah ini akan di presentasikan dan didiskusikan.
1.    Untuk mengetahui apa saja problem pendidikan di Indonesia.
2.    Untuk mengetahui sejauh mana problem itu dapat di atasi.

 BAB  II
PEMBAHASAN


A.      Pemetaan Masalah Pendidikan
Dalam memetakan masalah pendidikan maka perlu diperhatikan realitas pendidikan itu sendiri yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus juga merupakan suatu sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah subsistem adalah kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek eksternal yang saling terkait satu sama lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan ideologi sangat erat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, begitupun sebaliknya.
Sedangkan pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukan bahwa pendidikan di dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling mempengaruhi secara internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output pendidikan.Sedangkan pengajaran merupakan usaha mengembangkan kapasitas intelektual dan berbagai keterampilan pisik.
Berbagai perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang layak oleh berbagai stakeholder yang terkait. Problematika  pendidikan  sebagai proses sebuah sistim yang komplek.     Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem negara/ pemerintahan, maka keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya diantaranya ditunjukan sebagai berikut:
Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja.
Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula (1)
Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat RUU BHP dan PP tentang SNP No.19/2005) yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miski
1.Pemerataan  Pendidikan
a. Gerakan wajib belajar 9 tahun merupakan gerakan pendidikan nasional yang baru dicanangkan oleh pemerintahan Suharto pada tanggal 2 Mei 1994 dengan target tuntas pada tahun 2005, namun kemudian karena terjadi krisis pada tahun 1997-1999 maka program ini diperpanjang hingga 2008/2009. Sasaran program ini berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam PP No.7/2005 adalah dengan target Angka Partisipasi Kasar (APK) 94% (APK= perbandingan antara jumlah siswa pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu) yaitu meningkatnya siswa SLTP dari 3,67 juta orang pada tahun 2004/2005 menjadi 4,04 juta orang pada tahun 2009. Sedangkan target Direktorat SMP, Dirjen Mandikdasmen Depdiknas adalah APK 95% pada tahun 2008 yang artinya 1,9 juta anak harus terlayani ke SMP. Tahun 2005, APK SMP baru mencapai 85,22% yang menunjukan adanya selisih 9,78% dari target 95% sehingga perlu adanya pencapaian kenaikan rerata APK sebesar 3,26% pada setiap tahunnya. Tahun 2006 ditargetkan adanya kenaikan 4,64% atau 526.000 anak usia 13-15 tahun harus tertampung di jenjang SLTP/ Sederajat (Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006).
  b..Berkaitan dengan pencapaian APK dan APM, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas,2003). Namun, baru-baru ini pemerintah menyatakan optimismenya bahwa penuntasan wajib belajar akan berjalan sukses pada 2008. Keyakinan ini didasarkan atas indikator pencapaian APM SD dan APK SMP pada akhir 2006 berturut-turut mencapai 94,73 persen dan 88,68 persen dari 95 persen target yang dicanangkan pada 2008 (8/3/2007,www.tempointeraktif.com).
c .Kondisi ini sebenarnya belum menunjukan bahwa pemerintah telah berhasil dalam menyelesaikan problematika aksesibilitas pendidikan secara tuntas, karena indikator angka-angka di atas belum merepresentasikan aksesibilitas terhadap seluruh warga negara usia sekolah SD dan SMP.
d. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004, menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah anak usia 7-12 tahun adalah 96,77 persen, usia 13-15 tahun mencapai 83,49 persen, dan anak umur 16-18 tahun 53,48 persen. Hasil riset UNDP 2004, yang kemudian dipublikasikan dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2006, juga memperlihatkan gejala serupa. Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf.)
 2.Kerusakan Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka bagaimana mungkin proses pendidikan dapat berlangsung secara efektif?
Sebagai contoh, problematika yang terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan usulan yang disampaikan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Jumlah sarana/ prasarana sekolah yang mengalami kerusakan dan segera memerlukan rehabilitasi yaitu, kebutuhan rehabilitasi SD sebanyak 42.492 ruang kelas, MI sebanyak 6.523 ruang kelas, SMP sebanyak 6.767 ruang kelas, dan MTs sebanyak 2.729 ruang kelas. Sedangkan untuk pembangunan ruang kelas baru, SMP dibutuhkan sebanyak 5.628 ruang kelas baru dan MTs sebanyak 1.706 ruang kelas baru. Berdasarkan rehabilitasi dan pembangunan ruang kelas baru tersebut, maka dibutuhkan dana keseluruhan sebesar Rp 2.838.770.000.000. Anggaran kebutuhan sebesar Rp 2,8 triliun tersebut, tidak mungkin ditangani seluruhnya oleh APBD. Untuk itu, berdasarkan kesepakatan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional, Gubernur Jawa Barat, dan para Bupati/Walikota se-Jawa Barat, pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan sharing antara Pemerintah Pusat sebesar 50% atau sekitar Rp 1,4 triliun, Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebesar 30% atau sekitar Rp 840 miliar, sisanya 20% atau sekitar Rp 560 miliar dari 25 Kota/Kabupaten di Jawa Barat. (Sumber: Bulletin Epitech 2006, Disdik Prov.Jabar).
3.Kekurangan jumlah guru
Guru sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang. sebagai contoh dalam lingkup Jawa Barat saja menurut Drs. H. Iim Wasliman, M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Di Jawa Barat sendiri, masih dibutuhkan sekira 64 ribu guru guna mengisi kekurangan di sekolah-sekolah. Dengan perincian, 40 ribu guru untuk sekolah dasar (SD), 18 ribu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), 6 ribu untuk sekolah menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Kurangnya jumlah guru ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan. Sementara itu, siapa pun mungkin akan setuju mengatakan bahwa pendidikan adalah salah satu fondasi dalam membangun bangsa. Kualitas sumber daya manusia bergantung pada proses pendidikan yang dilaluinya. Jika proses itu berjalan buruk, jangan harap kualitas yang dihasilkan akan baik. Dengan kata lain, teruslah bermimpi menjadi bangsa besar jika pendidikan tidak menjadi prioritas dalam proses pembangunan (Pikiran Rakyat, 06/10/2002
4.Kinerja dan kesejahteraan guru belum Optimal
Kesejahteraan guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik. Berdasarkan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 sampai dengan 16 menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru dalam memperoleh penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan, berbagai fasilitas untuk meningkatkan kompetensi, berbagai tunjangan seperti tunjangan profesi, fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus, serta berbagai maslahat tambahan kesejahteraan.
Undang-undang tersebut memang sedikit membawa angin segar bagi kesejahteraan masyarakat pendidik, namun dalam realisasinya ternyata tidak semanis redaksinya
. Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Baru-baru ini Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan akan menaikkan tunjangan guru dalam APBN 2007. Guru PNS dinaikkan Rp 100 ribu, sedangkan non-PNS dari tunjangan Rp 115.000 naik menjadi Rp 200.000. Sebanyak 556.418 guru madrasah non-PNS mendapat tunjangan fungsional sebesar Rp 200 ribu per orang., kenaikan tunjangan fungsional sebesar Rp 100.000 per orang. Kenaikan akan dibayarkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU).
5.Proses Pembelajaran yang Konvensional
Dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif. Menurut Nurhadi,dan dkk (2004; 1) salah satu aspek penting yang harus dilakukan dalam kontek pembaharuan pendidikan adalah pembaharuan dalam efektivitas metode pembelajaran disamping pembaharuan kurikulum dan kwalitas pembelajaran.[4]
Dalam PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19 sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik yang masih melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet.
6.Jumlah dan Kwalitas buku yang belum memadai
Ketersediaan buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).
B.PENGELOLAAN
1.Penyeleenggaraan Otonomi Pendidikan
Pemerintah telah menetapkan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan yang menyebutkan: (1)   Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara melainkan diserahkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri.
2.Keterbatasan  Anggaran
            Ketersediaan anggaran yang memadai dalam penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)   (ayat 1).
Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).
3.Mutu SDM Pengelola Pendidikan
Sumber daya pengelola pendidikan bukan hanya seorang guru atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara langsung terlibat dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. Rendahnya mutu dari SDM pengelola pendidikan secara praktis tentu dapat menghambat keberlangsungan proses pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dan sinkronisasi terhadap berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga akan berjalan lamban karena tidak tersedianya tenaga pendidik yang kurang professional.[5]
Dalam kaitannya dengan regulasi pengelolaan pendidikan maka yang dilakukan oleh pemerintah saat ini mengacu pada UU No.20/2003 dan PP No 19/2005 tentang SNP yang dalam pasal 49 tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan yang intinya menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah menerapkan pola Manajemen Berbasis Sekolah, sedangkan untuk satuan pendidikan tinggi menerapkan pola Otonomi Perguruan Tinggi. Standar pengelolaan oleh satuan pendidikan diantaranya satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang mengatur tentang : kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus; kalender pendidikan/akademik; struktur organisasi; pembagian tugas diantara pendidik; pembagian tugas diantara tenaga kependidikan; peraturan akademik; tata tertib satuan pendidikan; kode etik hubungan; biaya operasional satuan pendidikan. Bagi individu kemampuan untuk belajar secara terus menerus akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan kwalitas hidupnya.Sedangkan bagi masyarakat, belajar mempunyai peran yang penting dalam mentransmisikan budaya dan pengetahuan dari generasi kegenerasi.[6]
Kemudian standar pengelolaan oleh pemerintah daerah (pasal 59) meliputi penyusunan rencana kerja pendidikan dengan memprioritaskan: wajib belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah; penuntasan pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan status guru sebagai profesi; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) bidang pendidikan.
C.RELEVANSI PENDIDIKAN
1.Belum menghasilkan  Life Skil
Dalam kaitannya dengan life skill yang dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan, maka berdasarkan PP No.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum untuk SMP/MTs/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Selain itu ditetapkan pula standar kompetensi lulusan, dalam pasal 26 ditetapkan sebagai berikut: 1). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3). Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. 4). Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusiaan.
2.Belum berbasis Masyarakat
Struktur kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU No.20/2003 dalam Pasal 36 tentang Kurikulum menyebutkan: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global; dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3.Belum Optimal Kemitraan dengan dunia Usaha dan Industri
Berkaitan dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005 Sisdiknas pasal 54 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan : (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. (3) Ketentua mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Berdasarkan  penjelasan dan uraian di atas  dapatlah di tarik sebuah kesimpulan bahwa sistim pendidikan di Indonesia mengalami masalah atau problem antara lain:
1) Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung,
2) Kerusakan sarana dan prasarana,
3) Kekurangan tenaga guru,
4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal,
5) Proses pembelajaran yang konvensional,
6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai,
7) Otonomi pendidikan.
8)Keterbatasan anggaran
9) Mutu SDM Pengelola pendidikan
10) Life skill yang dihasilkan tidak sesuai kebutuhan
11) Pendidikan yang belum berbasis masyarakat dan lingkungan
12) Kemitraan dengan DU/DI

B.      PEMECAHAN MASALAH DAN SARAN-SARAN
            Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Dengan demikian, penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital). Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat sebagai bentuk perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam bidang pendidikan. Sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah dengan memberikan tauladan tentang aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda: Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya) (HR. Muslim).
Kedua, solusi teknis, yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya:
Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar.



[1] . Muhaimin.Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam,PT Rajagrafindo Persada Hal VII Th  2009
[2] .Mulyasa, Menjadi guru Profesional, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cet 6, Hal 197, Th 2007
[3] .Wiji Suwarno,Dasar-dasar Ilmu Pendidikan,Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, Hal 23, Th 2006,
[4] .Ahmad Munjin Nasih dan Lilik Nur Kholidiah,Metode dan Teknik Pembelajaran, Bandung, Cet, 1,Hal 115,Th 2009.
[5] .Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Jakarta, Media Group, Cet 4, Hal.2, Th,2010
[6] .Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori-teori Belajardan Pembelajaran, Jakarta, Ar-Ruzz Media, Hal 47 Th 2010.

Senin, 01 Oktober 2012

KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN ISLAM (Isu-isu Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum)



PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sebuah yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat manusia. Karenanya manusia harus senantiasa mencari dan menuntut ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu factor penting yang mengharuskan manusia untuk selalu mengembangkan keilmuannya agar dapat beradaptasi di dunia modern yang kaya akan kemajuan ilmu dan       teknologi.
Pendidikan agama islam di sekolah umum hingga saat ini, masih menghadapi berbagai persoalan dan tantangan serta kritikan dari berbagai pihak, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Bahkan sebagian masyarakat cenderung berpendapat, meskipun terkesan sangat subjektif dan sepihak, bahwa “biang kerok” berbagai krisis sosial  dan moral yang dialami bangsa ini adalah disebabkan oleh gagalnya pendidikan agama di sekolah dalam membentuk moralitas masyarakat bangsa ini, khususnya para pelajar.
Sekolah merupakan sarana dan tempat menuntut ilmu bagi para peserta didik, juga tempat memperkaya dan memperluas keilmuan peserta didik.[1][1]
            Dalam makalah ini, penulis akan membahas dan mengulas tentang isu-isu pendidikan agama Islam di sekolah umum, yang meliputi pengertian pendidikan islam di sekolah umum, tujuan dam ruang ligkup pendidikan agama islam, problematika pendidikan agama Islam serta solusi dari problematika pendidikan Islam.


A.    Pengertian Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum
1.      Pengertian pendidikan Islam
Mendefinisikan pengertian pendidikan ditinjau dari berbagai tokoh tentu memiliki berbagai perbedaan, tetapi untuk memahami pengertian pendidikakn paling tidak dibutuhkan dua pengertian :
1)      Menurut Ngalim Purwanto yang dikutip oleh Akmal Hawi Pendidikan adalah pimpinan yang diberikan denga sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.
2)      Menurut Hasan Langgulung dikutip oleh Akmal Hawi Pendidikan merupakan proses pemindahan nilai pada suatu masyarakat kepada setiap individu yang ada di dalamnya dan proses pemindahan niali-nilai budaya itu melalui pengajaran dan indoktrinasi.[2][2]
Jadi, Pendidikan sebagai aktivitas berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, pandangan hidup, sikap hidup. [3][3]
Istilah islam dapat dimaknai sebagai islam wahyu. Islam wahyu meliputi Al-Qur’an hadis-hadis Nabi.[4][4]
M. Yusuf al- Qardhawy memberikan pengertian bahwa,´pendidikan islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya.[5][5]
Menurut Prof. Dr. Jalaluddin yang di kutip oleh Akmal Hawi, pendidikan Islam yaitu usaha untuk membimbing dan mengembangkan potensi manusia secara optimal agar dapat menjadi pengabdi Allah yang setia, berdasarkan dan dengan pertimbangan latar belakang perbedaan individu, tingkat usaha, jenis kelamin, dan lingkungan masing-masing.
Jadi, pengertian tersebut akan terlihat jelas bahwa Islam menekankan pendidikan  pada tujuan utamanya yaitu pengabdian kepada Allah secara optimal. Dengan berbekal ketaatan itu, diharapkan manusia itu dapat menempatkan garis kehidupannya sejalan dengan pedoman yang telah ditentukan sang pencipta. Kehidupan yang demikian itu akan memberi pengaruh kepada diri manusia, baik selaku pribadi maupun sebagai makhluk sosial, yaitu berupa dorongan untuk menciptakan kondisi kehidupan yang aman, damai, sejahtera dan berkualitas di lingkungannya
2.      Pengertian pendidikan agama Islam di sekolah umum
Di dalam UUSPN No. 2/1989 Pasal 39 ayat (2) ditegaskan bahwa isi kurikulum setiap jenis, dan jenjang pendidikan wajib memuat, antara lain  pendididkan agama. Dan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang berangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk  mewujudkan persatuan nasional.
Dalam konsep Islam, iman merupakan potensi rohani yang harus diaktualisasikan dalam bentuk amal saleh, sehingga mengahasilkan prestasi rohani (iman) yang disebut takwa. Amal saleh itu menyangkut keserasian dan keselarasan hubungan manusia dan Allah dan hubungan manusia dengan dirinya yang membentuk kesalehan pribadi, hubungan manusia dengan sesamanya yang membentuk kesalehan terhadap alam sekitar. Kualitas amal saleh ini akan menentukan derajat ketakwaan (prestasi rohani/iman) seseorang dihadapan Allah Swt.[6][6]
Dalam arti keyakinan beragama, (sebagai hasil pendidikan agama) diharapkan mampu memperkuat upaya penguasaan dan pengembagan iptek, dan sebaliknya, pengembagan iptek berkeyakinan beragama. Sedangkan agamalah yang bisa menuntut manusia untuk memilih mana yang patut, bisa, benar, dan baik untuk dijalankan dan dikembangkan. Disinila letak peranan pendidikan agama islam dan sekaligus pendidikan (GPAI disekolah) dan mengantisipikasi perkembangan  kemajuan iptek. Dalam arti mampukah guru pendidikan agama islam menegakan landasan akhlakul karimah yang menjadi tiang utama ajaran agama islam, tatkala dominasi temuan iptek sudah demikian hebat dan menguasai segala perbuatan dan pikiran umat manusia.[7][7]
Antara ilmu pengetahuan dan pendidikan islam tidak dapat dipisahkan karena perkembangan masyarakat islam, serta tuntutannya dalam membagun manusia seutuhnya (jasmani dan rohani) sangat ditentukan oleh kualitas ilmu pengetahuan yang dicerna melalui proses pendidikan. Proses pendidikan tidak hanya menggali dan mengembangkan sains, tetapi juga dan lebih penting lagi dapat yaitu dapat menemukan konsep baru ilmu pengetahuan yang utuh, sehingga dapat membagun masyarakat islam sesuai dengan keinginan dan kebutuhan yang diperlukan.[8][8]


B.     Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam
Tujuan pendidikan ialah pembangunan manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya mencakup unsur-unsur jasmani dan rohani. Oleh karna itu, perkembangan lahiriah dan batiniyah yang selaras, serasi, dan seimbang harus tercapai.[9][9]
Seperti halnya dasar pendidikannya maka tujuan pendidikan Islam juga identik dengan tujuan Islam itu sendiri. Hal ini sempat menimbulkan pandangan yang beragam daripada ahli didik terhadap pendidikan Islam.
Menurut Zakiah Daradjat, tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Selama hidupnya dan matinya pun tetap dalam keadaan muslim. Pendapat ini berdasarkan firman Allah dala Q.S. Ali Imran ayat 102 :

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah  kepada Allah dengan sebenar benarnya takwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan musim”.
            Tujuan pendidikan Islam memiliki karateristik yang ada kaitannya dengan sudut pandangan tertentu. Secara garis besarnya tujuan pendidikan Islam dapat dilihat dari tujuh dimensi utama. Setiap dimensi mengacu kepada tujuan pokok yang khusus. Atas dasar pandangan yang demikian, maka tujuan pendidikan Islam mencakup runag lungkup yang luas.


1.      Dimensi hakikat penciptaan manusia
Berdasarakan dimensi ini tujuan pendidikan Islam  di arahakan kepada pencapaian target yang berkaiatan dengan hakikat penciptaan manusia. Dari sudut pandang ini maka pendidikan Islam bertujuan untuk membimbing peserta didik secara optimalkan agar mengabdi kepada Allah swt.
2.      Dimensi tauhid
Mengacu pada dimensi ini, maka tujuan pendidikan Islam di arahkan kepada upaya pembentukan sikap taqwa. Dengan demikian pendidikan di tujukan kepada upaya untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik secara optimal agar dapat menjadi hamba Allah yang taqwa.
3.      Dimensi moral
Di dalam dimensi ini manusia dipandang sebagai sosok individu yang mempunyai potensi fitriah. Maksunya bahwa sejak di lahirkan, pada diri manusia sudah ada sejumlah potensi bawaan yang diperoleh secara fitrah. Menurut Qurais Shihab yang di kutip oleh Akmal Hawi, potensi ini mempunyai tiga kecendrungan utama yaitu yang benar, yang baik dan yang indah.
4.      Dimensi perbedaan individu
Secara umum manusia memiliki sejumlah persamaan. Namun di balik itu sebagai individu, manusia juga memiliki berbagai perbedaan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Kenyataan ini menunjukan  bahwa manusia sebagai individu secara fitrah memiliki perbedaan. Selain itu perbedaan juga terdapat pada kadar kemampuan yang dimiliki masing-masing individu.


5.      Dimensi sosial
Manusia adalah mahluk sosial, yaitu makhluk yang memilaki doromgan untuk hidup berkelompok secara bersamaa-sama. Oleh karena itu dimensi sosial mengacu pada kepentingan sebagai mahluk sosial, yang didasarkan pada pemahaman bahwa manusia hidup bermasyarakat.
6.      Dimensi profesional
Setiap manusia memiliki kadar kemampuan yang berbeda. Berdasarkan pengembangan kemampuan yang dimiliki itu, manusia diharapkan dapat menguasai keterampilan profesional. Maksudnya dengan keterampilan yang dimiliki itu agar dapat memenuhi keterampilan hidupnya.
7.      Dimensi ruang dan waktu
Tujuan pendidikan Islam juga dapat dirumuskan atas dasar pertimbangan dimensi ruang dan waktu, yaitu dimana dan kapan.
Secara umum tujuan pendidikan agama Islam bertujuan untuk “meningkatkan keimanan, penghayatam, dan pengalaman peserta didik tentang agama, Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka ruang lingkup materi PAI (kurikulum 1994) pada dasarnya mencakup delapan unsur pokok, yaitu Al-Qur’an Hadis, keimanan, syariah, ibadah, muamalah, akhlak dan tarikh (sejarah Islam) yang menekankan pada perkrmbangan politik. Pada kurikulum tahun 1999 di dapat menjadi empat unsur pokok yaitu Al-Qur’an Hadis, Aqidah akhlak, fiqh atau bimbingan ibadah, serta tarikh atau sejarah Islam yang menekankan pada perkembangan ajaran agama Islam, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.[10][10]
C.    Problematika Pengajaran PAI di Sekolah Umum
Menurut Ahmadi yang dikutip oleh Akmal Hawi, pendidikan adalah suatu aktivitas yang merupakan proses itu banyak dijumapai probelema yang memerlukan pemikiran dan pemecahannya. Proses problematika yang menyangkut proses pendidikan yaitu 5W 1H:
1.      Problematika Who
Dalam pendidikan, problematika Who adalah masalah pendidikan (Subyek) yang melaksanalkan aktivitas pendidikan dan masalah anak didik (Obyek) yang dikenai sasaran aktivitas pendidikan.
1)      Problem Pendidikan
2)      Problem anak didik
a.       Minat Siswa
b.      Perhatian Siswa
c.       Cara Belajar Siswa
2.      Problematika Why
Dalam proses pendidikan, tidak semua pelaksanannya bisa berjalan dengan lancar, tetapi juga akan dijumpai rintangan-rintangan/hambatan. Kesulitan tersebut bisa terdapat pada semua faktor pendidikan yang menghabat jalannya proses pendidikan.
3.      Problematika Where (Pola Pendidikan Islam dalam Keluarga)
Ada tiga tempat pendidikan bagi seorang anak yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sistem pendidikan pada masing-masing tempat tersebut tidak sama dan modelnya pun berbeda. Problem pendidikan sebagai pendidikan anak-anak antara lain situasi keluarga itu sendiri dan letak dan kualitas keluarga itu betada dimana.
4.      Problematika When
Masalah when (kapan) yaitu kapan bagusnya saat yang tepat untuk memberikan suatu pujian bagi tingkat perilaku anak didik yang positif, pemberian tugas. Berkenaan dengan usia anak sebaiknya harus tahu kapan waktu-waktunya untuk memberikan berbagai model pendidikan kepada anak sesuai tingkat usianya.
5.      Problematika What
Problem What (apa) menyangkut dasar, tujuan, bahan/materi, sarana, prasarana, dan media.
6.      Problematika How
Masalah how (bagaimana) berkenaan dengan cara didik/metode yang digunakan dalam proses pendidikan. Anak didik mempunyai bakat yang berbeda-beda. Pendidikan harus mengakui adanya perbedaan itu.
D.    Solusi dari Problematika Pengajaran PAI
Upaya yang dapat dilakukan untuk melaksanak dan mengembangkan kurikulum PAI di SMP dan SMA pada masa yang akan datang, menurut Abdurahmansya dan M. Fauzi yang dikutip oleh Akmal Hawi adalah:
1.      Pelaksanaan pendidikan agama Islam harus lebih etensif dengan lebih menekankan pada pendidikan akhlak.
2.      Penyusunan dan pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada masa yang akan datang harus menggunakan pendekatan intersipliner yaitu dengan melibatkan para pakar dalam bidang ilmu yang lain.
3.      Agar pelaksanaan kurikulum pendidikan agama Islam dapat berjalan dengan baik dan mencapai hasil maksimal maka jam pelajarannya perlu di tambah dari 2jam/minggu menjadi 4jam/minggu.
4.      Pendekatan ekstrakulikuler pengajaran PAI harus di bawa ketatanan realitas sosial, tidak hanya sebatas teori dan berlangsung dalam kelas semata.
5.      Evaluasi yang harus dikembangkanadalah mengukur sikap prilaku keberagaman.
6.      Perlunya meningkatkan fasilitas, kualitas keilmuan dan kesejahteraan guru agama serta menciptakan pendidikan yang lebih kondusif dan agamis.[11][11]
Abuddin Nata dalam bukunya Manajemen Pendidikan memberikan solusi. Solusi tersebut yaitu :
1.      Mengubah orientasi dan fokus pengajaran agama yang semula berpusat pada pemberian pengetahuan agama dalam arti memahami dan menghafal ajaran agama sesuai kurikulum, menjadi pengajaran agama yang berorientasi pada pengalaman dan pembentukan sikap keagamaan melalui pembiasaan hidup sesuai   dengan agama.
2.      Melakukan kegiatan ekstrakurikuler yang dirancang sesuai dengan kebutuhan dengan penekanan utamanya pada pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Meningkatkan perhatian, kasih sayang, bimbingan dan pengawasan yang diberikan            oleh     orang   tuanya             di         rumah dan guru di sekolah.
4.      Melaksanakan tradisi keislaman yang didasarkan pada al Qur’an dan as-sunnah yang disertai dengan penghayatan dan pesan moral yang terkandung di dalamnya
5.      Pembinaan sikap keagamaan melalui media informasi dan komunikasi.[12][12]

KESIMPULAN
Pendidikan agama Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hati, rohani dan jasmani, akhlak dan keterampilannya. Pengertian tersebut akan terlihat jelas bahwa Islam menekankan pendidikan  pada tujuan utamanya yaitu pengabdian kepada Allah secara optimal.
Problematika yang menyangkut proses pengajaran PAI yaitu 5W 1H:
1.      Problematika Who
2.      Problematika When
3.      Problematika Where
4.      Problematika What
5.      Problematika Why
6.      Problematika How
Solusi dari Problematika Pengajaran PAI:
1.      Pelaksanaan pendidikan agama Islam harus lebih etensif dengan lebih menekankan pada pendidikan akhlak.
2.      Penyusunan dan pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada masa yang akan datang harus menggunakan pendekatan intersipliner yaitu dengan melibatkan para pakar dalam bidang ilmu yang lain.
3.      Agar pelaksanaan kurikulum pendidikan agama Islam dapat berjalan dengan baik dan mencapai hasil maksimal maka jam pelajarannya perlu di tambah dari 2jam/minggu menjadi 4jam/minggu.
4.      Pendekatan ekstrakulikuler pengajaran PAI harus di bawa ketatanan realitas sosial, tidak hanya sebatas teori dan berlangsung dalam kelas semata.
5.      Evaluasi yang harus dikembangkan adalah mengukur sikap prilaku keberagaman.
6.      Perlunya meningkatkan fasilitas, kualitas keilmuan dan kesejahteraan guru.
DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, 1999, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Raja Grafindo Persada: Jakarta
Hawi, Akmal, 2008, Kapita Selekta Pendidikan Islam, IAIN Raden Fatah Pers: Palembang
http://www.scribd.com/doc/38626958/Tugas-Kapita-Selekta-Pendidikan di akses, Jum’at, 20 Juli 2012, jam 09.30
Qomar, Mujamil, 2007,  Manajemen Pendidikan Islam, Erlangga:Malang
Sagala, Syaiful, 2009, Administrasi Pendidikan Kontenporer, Alfabeta: Bandung
Sutingkir, 1985, Membina Siswa, Mutiara Sumber Widia: Jakarta


[2][2] Akmal Hawi, Kapita Selekta Pendidikan Islam , (IAIN Raden Fatah Pers: Palembang, 2008) Hlm. 54-55
[3][3] Syaiful Sagaala, Administrasi Pendidikan Kontenporer, (Alfabeta: Bandung, 2009) Hlm. 1
[4][4] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Erlangga: Malang, 2007 ) Hlm. 15
[6][6] Akmal Hawi, Op Cit., Hlm. 54-56
[7][7] Akmal Hawi, Ibid., Hlm. 65
[8][8] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam ,(Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1999) Hlm 6
[9][9] Sutingkir, Membina Siswa, (Mutiara Sumber Widia: Jakarta, 1985) Hlm. 22
[10][10] Akmal Hawi, Op Cit., Hlm. 56-61
[11][11] Akmal Hawi, Op Cit., Hlm. 70-89