Islam adalah agama yang syamil dan muttakamil, sebuah agama
yang yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Dibuktikan dengan ilmu pertama
kali yang Allah ajarkan kepada Nabi adam AS, adala ilmu tentang bahasa yaitu
dengan penyebutan dan penamaan benda-benda. Kemudian wahyu yang Allah turunkan
pertama kali kepada Rasulullah Muhammad SAW adalah perintah membaca. “Iqra
bismi Rabbika ..., bacalah dengan nama Tuhanmu..” Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah bersabda bahwa ilmu itu adalah milik
kaum muslimin, maka dimana pun kita menemukannya kita harus memungut dan
mengambilnya “Kebijaksanaan adalah tongkat yang hilang bagi seorang mukmin.
Dia harus mengambilnya dari siapa saja yang didengarnya, tidak peduli dari
sumber mana datangnya.” (HR. Ibnu Hibban). Sejalan dengan hadits
diatas ada hadits lain yang berbunyi “undzur ma qola wala tandzur man qola,
Lihat apa yang dibicarakan jangan melihat siapa yang berbicara”. Semua itu
adalah bukti penghargaan islam terhadap ilmu pengetahuan. Mengajarkan untuk
selalu belajar dan menuntut ilmu di manapun berada. Sejalan dengan itu, Imam
Asy-Syafi’i menganalogikan Ilmu sepertihalnya sebuah hewan buruan yang tali
kekangnya adalah pena dan kertas maka kokohkanlah tali kekangnya agar tidak
terlepas binatang buruan itu dengan menuliskannnya. Maka dari sinilah awal
mulanya sebuah penerbitan buku.
Menulis selain untuk menjaga ilmu agar tidak terlepas, adalah untuk
eksistensi sebuah pengetahuan. Kita tahu mesir kuno adalah peradaban besar
dan tinggi kebudayaannya Bahkan hingga saat ini, meski
peradaban nya saat ini telah punah. Tapi orang-orang jaman sekarang tetap dapat
melihat dan menginsyafi bahwa dahulu kala ada sebuiah peradaban besar diterpian
sungai nil bernama peradaban mesir kuno. Semua itu bisa terlihat dari adanya peninggalan-peninggalan
berupa tulisan-tulisan yang kita kenal dengan hieroglyph. Maka bisa
disimpulkan bahwa tulisan atau karya tulis merupakan warisan kebudayaan yang
tinggi. Selain itu dengan menuliskannya, keotentikan suatu ilmu dapat
terjaga keasliannya. Hal ini terjadi pada proses penulisan ulang Al-Quran pada
masa kekhilafahan Abu bakar Ash Shidiq ra, Beliau mengambil inisiatif
pengumpulan dan penulisan ulang al-quran. Karena ketika itu terjadi
perang besar yang membuat banyak para hafidz Quran syahid. Maka
beliau mengambil inisitiatif untuk pengumpulan dan penulisan ulang Al-Quran
dengan Zaid ‘ibn Tsabit sebagai pimpinan pelaksananya. Karena kafa’ah beliau
sebagai assistant dan sekretaris Rasulullah . selain itu beliau lah sahabata
yang paling banyak mendengar langsung wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah.
Itulah sedikit sirah tentang kenapa menulis menjadi sebuah langkah untuk
penjagaan suatu ilmu baik dari segi keotentikan nya juga dari aspek historisnya
dikemudian hari, agar generasi berikutnya dapat mengerti bahwa pernah ada suatu
grand teori atau ilmu atau peradaban besar.
ISLAM DAN BUKU
Bicara tentang kepenulisan tidak pernah lepas dari bicara tentang
perbukuan. Karena buku merupakan output atau hasil dari sebuah proses
penulisan. Seperti Mushaf Al-Quran, adalah hasil proses penghimpunan
kembali dan penulisan ulang wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW.
Masa keemasan perbukuan dalam islam dimulai ketika masa kekhalifaan bani
Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid (786-813 M),
Tokoh yang popular dalam kisah 1001 malam arun al-Rasyid memang dikenal sebagai
pencinta ilmu pengetahuan, sastra dan filsafat, serta pelindung besar
perkembangan seni dan penerbitan buku. Begitu pula putranya khalifah al-Makmun
(813-847 M). Pada zaman pemerintahan dua sultan inilah dunia penulisan dan
penerjemahan buku berkembang pesat, menjadikan Baghdad sebagai pusat kebudayaan
dan peradaban terbesar di dunia selama beberapa abad.
Menurut Ahmad Samantho Ada beberapa faktor yang
menyebabkan ilmu dan penulisan buku berkembang pesat pada waktu itu. Ahli-ahli
sejarah Islam mencatat di antara faktor-faktor itu ialah:
1. Pertama, adanya hubungan yang dinamis
antara kebudayaan Arab dengan kebudayaan lain yang telah maju sebelum datangnya
agama Islam, misalnya Mesir, Babylonia, Yunani, India, Persia dan Cina.
2. Kedua, sejak abad ke-9 M di negeri-negeri
Islam telah tumbuh pusat-pusat kebudayaan yang satu dengan yang lain saling
berlomba mengembangkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Misalnya Madinah,
Mekkah, Fustat, Qairwan, Baghdad, Kurtuba (Cordova), Damaskus, Kufa, Basra,
Nisyapur, Isfahan dan lain-lain.
3. Ketiga, lembaga-lembaga pendidikan dan
ilmu berkembang pesat mengikuti perkembangan masjid dan lembaga keagamaan.
4. Keempat, raja-raja Muslim, amir, bangsawan
kaya, saudagar dan menteri-menteri yang berpengaruh memberikan dorongan dengan
dana yang melimpah bagi perkembangan tersebut.
5. Kelima, terdapat kebebasan berpikir dan
mengemukakan pendapat yang dijamin oleh undang-undang. Walaupun
pendapat-pendapat yang dikemukakan sering bertentangan dengan pandangan resmi
kerajaan, namun pendapat dan gagasan yang bernas dibiarkan tumbuh. Sedang
pemikiran dan pendapat yang dangkal mendapatkan kritik keras. Bahkan di antara
khalifah-khalifah Abbasiyah sendiri terdapat beberapa pemimpin yang toleran dan
lapang dada menerima perbedaan pendapat dan kritik, terutama Harun al-Rasyid
dan al-Makmun. Pada masa itu di berbagai pelosok negeri Islam terdapat banyak
pencinta buku. Pemerintah dan swasta berlomba-lomba mendirikan perpustakaan.
6. Faktor yang tidak kalah penting ialah
terbongkarnya rahasia pembuatan kertas di Cina melalui tawanan-tawanan Cina
yang ditangkap di Samarqand dalam beberapa pertempuran antara Baghdad dan
negeri Cina. Setelah cara-cara pembuatan kertas dipelajari secara mendalam,
serta dilakukan percobaan berulang kali, maka orang-orang Islam pun segera
dapat membuat kertas dengan tehnik yang setara dengan tehnik orang-orang Cina.
Pada tahun 800 M Harun al-Rasyid meresmikan pembangunan pabrik kertas pertama
terbesar di dunia Islam. Pabrik kertas di Baghdad ini adalah pabrik kertas
pertama terbesar di luar Cina.
Lima belas tahun kemudian khalifah mendirikan Khizanat al-Hikmah, sebuah
pusat perbukuan dan perpustakaan besar. Berkat kecintaan khalifah pada buku,
lembaga ini berkembang pesat. Ratusan manuskrip dalam berbagai bahasa, berisi
teks berbagai ilmu pengetahuan, sastra dan filsafat, berhasil dikumpulkan dari
berbagai negeri. Sampai pertengahan abad ke-9 M koleksi buku lembaga ini
mencapai kurang lebih satu juta. Seorang ahli sejarah yang berkunjung ke
Baghdad pada tahun 891 M melaporkan bahwa pada waktu itu terdapat tidak kurang
800 perpustakaan di Baghdad, milik pemerintah dan swasta.
buku yang tumbuh sejak permulaan tarikh Islam itu dibuktikan dengan
munculnya perpustakaan pertama untuk dunia Islam di Damaskus pada tahun 704 M,
yang didirikan oleh khalifah Khalid bin Yazid, cucu Muawiyah bin Abi Sufyan
sang pendiri Daulah Umayyah. Khalid bin Yazid sendiri adalah seorang ahli
kimia. Dia pernah belajar pada seorang pendeta Yunani bernama Niryamus dan
telah menulis tiga buah buku mengenai ilmu kimia. Ibn al-Nadim yang mengunjungi
perpustakaan Khalid pada tahun 987 M menuturkan bahwa di antara koleksi
kesayangan Khalid ialah buku-buku kedokteran, astronomi dan kimia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar