BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat
ini Indonesia sebagai salah satu negeri kaum muslimin terbesar telah didera
oleh berbagai keterpurukan, yang diantara penyebab keterpurukan tersebut
terjadi karena kekeliruan dalam menyelenggarakan sistem pendidikan nasionalnya.
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3
disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini
maka terdapat beberapa kecakapan hidup yang diharapkan dapat dimiliki oleh
peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan.
Berangkat
dari definisi di atas maka dapat difahami bahwa secara formal sistem pendidikan
indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam
rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian,
sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel
kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan
agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk
dalam penyelenggaran sistem pendidikan.
Meskipun,
pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan)
yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4
ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia,
sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Perlu
difahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang tidak mengakui adanya
Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan sebatas sebagai pencipta saja, dan
peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan manusia tidak boleh dominan. Sehingga
manusia sendirilah yang dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai
pengaturan kehidupannya sekaligus memarjinalkan peranan Tuhan.
Penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial.
Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan
berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya
tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32
UUD 1945, maupun dalam regulasi dari avatnya seperti UU No.2/1989 tentang
Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003.
UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di
persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar,
RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb). Kemudian dalam cakupan yang lebih
operasional, maka peraturan menteri; peraturan daerah yang dibuat para
gubernur, walikota/bupati; serta keseriusan para anggota DPRD juga memiliki
andil yang besar untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan nasional dalam
lingkup daerah.
Adapun berkembangnya dinamika sosial sebagai bentuk aksi-reaksi masyarakat
terhadap keberlangsungan berbagai bidang kehidupan (politik, ekonomi,
sosial-budaya, bahkan ideologi) ditengah-tengah mereka juga turut mempengaruhi
dinamika pendidikan, karena berbagai bidang kehidupan tersebut realitasnya
merupakan subsistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu sistem
yang lebih besar yaitu sistem pemerintahan. Pendidikan merupakan salah satu
subsistem yang sentral, sehingga senantiasa perlu mendapatkan perhatian dan
perbaikan dalam menjaga kontinuitas proses kehidupan dalam berbagai aspek di
tengah-tengah masyarakat (negara) tersebut (input-proses-output). Demikian,
dalam upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional ternyata memerlukan
adanya perbaikan pula dalam aspek sistemik (regulasi) serta meningkatnya
kontrol sosial dari masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan dan membatasi masalah
sebagai berikut:
1. Apakah problem-problem pendidikan di
Indonesia ?
2. Bagaimanakah upaya-upaya
mengatasi problem pendidikan di Indonesia ?
C. Tujuan Pembahasan
Pada akhirnya makalah ini akan di
presentasikan dan didiskusikan.
1. Untuk mengetahui apa saja problem pendidikan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui sejauh mana problem
itu dapat di atasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemetaan Masalah Pendidikan
Dalam
memetakan masalah pendidikan maka perlu diperhatikan realitas pendidikan itu sendiri
yaitu pendidikan sebagai sebuah subsistem yang sekaligus juga merupakan suatu
sistem yang kompleks. Gambaran pendidikan sebagai sebuah subsistem adalah
kenyataan bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang berjalan
dengan dipengaruhi oleh berbagai aspek eksternal yang saling terkait satu sama
lain. Aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan-keamanan, bahkan
ideologi sangat erat pengaruhnya terhadap keberlangsungan penyelenggaraan
pendidikan, begitupun sebaliknya.
Sedangkan
pendidikan sebagai suatu sistem yang kompleks menunjukan bahwa pendidikan di
dalamnya terdiri dari berbagai perangkat yang saling mempengaruhi secara
internal, sehingga dalam rangkaian input-proses-output pendidikan.Sedangkan
pengajaran merupakan usaha mengembangkan kapasitas intelektual dan berbagai
keterampilan pisik.
Berbagai
perangkat yang mempengaruhinya tersebut perlu mendapatkan jaminan kualitas yang
layak oleh berbagai stakeholder yang terkait. Problematika
pendidikan sebagai proses sebuah sistim yang
komplek. Sebagai salah satu sub-sistem di dalam sistem
negara/ pemerintahan, maka keterkaitan pendidikan dengan sub-sistem lainnya
diantaranya ditunjukan sebagai berikut:
Pertama, berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan
telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan
sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan
adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa
komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang
memiliki dana dalam jumlah besar saja.
Hal
ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No.20/2003 Pasal 53 tentang Badan Hukum
Pendidikan bahwa (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. (2)
Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana
secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54
disebutkan pula (1)
Peran
serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat
dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara kepada
masyarakat dengan mekanisme BHP (lihat RUU BHP dan PP tentang SNP No.19/2005)
yaitu adanya mekasnisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan
Otonomi Pendidikan pada tingkat Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah
dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika,
10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki
otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah
tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan
mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati
pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak
berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miski
1.Pemerataan
Pendidikan
a. Gerakan wajib belajar 9 tahun
merupakan gerakan pendidikan nasional yang baru dicanangkan oleh pemerintahan
Suharto pada tanggal 2 Mei 1994 dengan target tuntas pada tahun 2005, namun
kemudian karena terjadi krisis pada tahun 1997-1999 maka program ini
diperpanjang hingga 2008/2009. Sasaran program ini berdasarkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam PP No.7/2005 adalah dengan target
Angka Partisipasi Kasar (APK) 94% (APK= perbandingan antara jumlah siswa pada
jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu)
yaitu meningkatnya siswa SLTP dari 3,67 juta orang pada tahun 2004/2005 menjadi
4,04 juta orang pada tahun 2009. Sedangkan target Direktorat SMP, Dirjen
Mandikdasmen Depdiknas adalah APK 95% pada tahun 2008 yang artinya 1,9 juta
anak harus terlayani ke SMP. Tahun 2005, APK SMP baru mencapai 85,22% yang
menunjukan adanya selisih 9,78% dari target 95% sehingga perlu adanya pencapaian
kenaikan rerata APK sebesar 3,26% pada setiap tahunnya. Tahun 2006 ditargetkan
adanya kenaikan 4,64% atau 526.000 anak usia 13-15 tahun harus tertampung di
jenjang SLTP/ Sederajat (Panduan KKN Wajar Dikdas 9 Tahun, UPI 2006).
b..Berkaitan dengan pencapaian
APK dan APM, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih
rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat
mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus
sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah
mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat
Data dan Informasi Depdiknas,2003). Namun, baru-baru ini pemerintah menyatakan
optimismenya bahwa penuntasan wajib belajar akan berjalan sukses pada 2008.
Keyakinan ini didasarkan atas indikator pencapaian APM SD dan APK SMP pada
akhir 2006 berturut-turut mencapai 94,73 persen dan 88,68 persen dari 95 persen
target yang dicanangkan pada 2008 (8/3/2007,www.tempointeraktif.com).
c .Kondisi ini sebenarnya belum
menunjukan bahwa pemerintah telah berhasil dalam menyelesaikan problematika
aksesibilitas pendidikan secara tuntas, karena indikator angka-angka di atas
belum merepresentasikan aksesibilitas terhadap seluruh warga negara usia
sekolah SD dan SMP.
d. Berdasarkan hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 2004, menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah
anak usia 7-12 tahun adalah 96,77 persen, usia 13-15 tahun mencapai 83,49
persen, dan anak umur 16-18 tahun 53,48 persen. Hasil riset UNDP 2004, yang
kemudian dipublikasikan dalam Laporan Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2006,
juga memperlihatkan gejala serupa. Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya
mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15
tahun ke atas yang buta huruf.)
2.Kerusakan
Sarana dan Prasarana
Sarana
dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan
prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka bagaimana mungkin proses
pendidikan dapat berlangsung secara efektif?
Sebagai
contoh, problematika yang terjadi di Jawa Barat. Berdasarkan usulan yang
disampaikan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat Jumlah sarana/ prasarana sekolah yang
mengalami kerusakan dan segera memerlukan rehabilitasi yaitu, kebutuhan
rehabilitasi SD sebanyak 42.492 ruang kelas, MI sebanyak 6.523 ruang kelas, SMP
sebanyak 6.767 ruang kelas, dan MTs sebanyak 2.729 ruang kelas. Sedangkan untuk
pembangunan ruang kelas baru, SMP dibutuhkan sebanyak 5.628 ruang kelas baru
dan MTs sebanyak 1.706 ruang kelas baru. Berdasarkan rehabilitasi dan
pembangunan ruang kelas baru tersebut, maka dibutuhkan dana keseluruhan sebesar
Rp 2.838.770.000.000. Anggaran kebutuhan sebesar Rp 2,8 triliun tersebut, tidak
mungkin ditangani seluruhnya oleh APBD. Untuk itu, berdasarkan kesepakatan
bersama antara Menteri Pendidikan Nasional, Gubernur Jawa Barat, dan para
Bupati/Walikota se-Jawa Barat, pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan sharing
antara Pemerintah Pusat sebesar 50% atau sekitar Rp 1,4 triliun, Pemerintah
Provinsi Jawa Barat sebesar 30% atau sekitar Rp 840 miliar, sisanya 20% atau
sekitar Rp 560 miliar dari 25 Kota/Kabupaten di Jawa Barat. (Sumber: Bulletin
Epitech 2006, Disdik Prov.Jabar).
3.Kekurangan
jumlah guru
Guru
sebagai pilar penunjang terselenggarannya suatu sistem pendidikan, merupakan
salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh
negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah
guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang.
sebagai contoh dalam lingkup Jawa Barat saja menurut Drs. H. Iim Wasliman,
M.Pd., M.Si. (Kadisdik Jabar tahun 2002) bahwa kondisi minimnya jumlah guru
dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di
tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Di Jawa Barat
sendiri, masih dibutuhkan sekira 64 ribu guru guna mengisi kekurangan di
sekolah-sekolah. Dengan perincian, 40 ribu guru untuk sekolah dasar (SD), 18
ribu untuk sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), 6 ribu untuk sekolah
menengah umum (SMU), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Kurangnya jumlah guru
ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan.
Kekurangan tersebut membuat beban guru semakin bertumpuk sehingga sangat
berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan. Sementara itu, siapa
pun mungkin akan setuju mengatakan bahwa pendidikan adalah salah satu fondasi
dalam membangun bangsa. Kualitas sumber daya manusia bergantung pada proses
pendidikan yang dilaluinya. Jika proses itu berjalan buruk, jangan harap
kualitas yang dihasilkan akan baik. Dengan kata lain, teruslah bermimpi menjadi
bangsa besar jika pendidikan tidak menjadi prioritas dalam proses pembangunan
(Pikiran Rakyat, 06/10/2002
4.Kinerja
dan kesejahteraan guru belum Optimal
Kesejahteraan
guru merupakan aspek penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam
menunjang terciptanya kinerja yang semakin membaik di kalangan pendidik.
Berdasarkan UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 sampai dengan 16
menyebutkan tentang Hak dan Kewajiban diantaranya, bahwa hak guru dalam
memperoleh penghasilan adalah di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan
kesejahteraan sosial, mendapatkan promosi dan penghargaan, berbagai fasilitas
untuk meningkatkan kompetensi, berbagai tunjangan seperti tunjangan profesi,
fungsional, tunjangan khusus bagi guru di daerah khusus, serta berbagai
maslahat tambahan kesejahteraan.
Undang-undang
tersebut memang sedikit membawa angin segar bagi kesejahteraan masyarakat
pendidik, namun dalam realisasinya ternyata tidak semanis redaksinya
.
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas
pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen
Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji
bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per
bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah
swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang
saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar
lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang
mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika,
13 Juli, 2005).
Baru-baru
ini Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan akan menaikkan tunjangan guru dalam
APBN 2007. Guru PNS dinaikkan Rp 100 ribu, sedangkan non-PNS dari tunjangan Rp
115.000 naik menjadi Rp 200.000. Sebanyak 556.418 guru madrasah non-PNS
mendapat tunjangan fungsional sebesar Rp 200 ribu per orang., kenaikan
tunjangan fungsional sebesar Rp 100.000 per orang. Kenaikan akan dibayarkan
melalui Dana Alokasi Umum (DAU).
5.Proses
Pembelajaran yang Konvensional
Dalam
hal pelaksanaan proses pembelajaran, selama ini sekolah-sekolah
menyelenggarakan pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada. Hal ini
dipengaruhi oleh ketersediaan sarana-prasarana, ketersediaan dana, serta kemampuan
guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang efektif. Menurut Nurhadi,dan
dkk (2004; 1) salah satu aspek penting yang harus dilakukan dalam kontek
pembaharuan pendidikan adalah pembaharuan dalam efektivitas metode pembelajaran
disamping pembaharuan kurikulum dan kwalitas pembelajaran.[4]
Dalam
PP No 19/2005 tentang standar nasional pendidikan disebutkan dalam pasal 19
sampai dengan 22 tentang standar proses pendidikan, bahwa proses pembelajaran
pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif,
serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik. Adanya keteladanan pendidik, adanya perencanaan, pelaksanaan, penilaian,
dan pengawasan yang efektif dan efisien dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan
standar yang ditetapkan di atas, maka proses pembelajaran yang dilakukan antara
peserta didik dengan pendidik seharusnya harus meninggalkan cara-cara dan model
yang konvensional sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran secara efektif
dan efisien. Kenyataan saat ini, banyak diantara pendidik yang masih
melaksanakan proses pembelajaran secara konvensional bahkan diantaranya belum
menguasai teknologi informasi seperti komputer dan internet.
6.Jumlah
dan Kwalitas buku yang belum memadai
Ketersediaan
buku yang berkualitas merupakan salah satu prasarana pendidikan yang sangat
penting dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan proses pendidikan. Sebagaimana
dalam PP No 19/2005 tentang SNP dalam pasal 42 tentang Standar Sarana dan
Prasarana disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang
meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber
belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan
untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (ayat 1).
B.PENGELOLAAN
1.Penyeleenggaraan
Otonomi Pendidikan
Pemerintah
telah menetapkan kebijakan otonomi pendidikan, sebagaimana mengacu pada UU
No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan yang
menyebutkan: (1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan. (2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. (3) Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat
mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. (4) Ketentuan
tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan
pasal di atas maka penyelenggaraan pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab
negara melainkan diserahkan kepada lembaga pendidikan itu sendiri.
2.Keterbatasan
Anggaran
Ketersediaan anggaran yang memadai
dalam penyelenggaran pendidikan sangat mempengaruhi keberlangsungan
penyelenggaraan tersebut. Ketentuan anggaran pendidikan tertuang dalam UU
No.20/2003 tentang Sisdiknas dalam pasal 49 tentang Pengalokasian Dana
Pendidikan yang menyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1).
Realisasi anggaran pendidikan
sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan
pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana
pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja
Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah
tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7
triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari
Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit
atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario
progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan
Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan
bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 %
(2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan
20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan
sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 (Pan Mohamad
Faiz;2006).
3.Mutu SDM
Pengelola Pendidikan
Sumber daya pengelola pendidikan bukan hanya seorang guru
atau kepala sekolah, melainkan semua sumber daya yang secara langsung terlibat
dalam pengelolaan suatu satuan pendidikan. Rendahnya mutu dari SDM pengelola
pendidikan secara praktis tentu dapat menghambat keberlangsungan proses
pendidikan yang berkualitas, sehingga adaptasi dan sinkronisasi terhadap
berbagai program peningkatan kualitas pendidikan juga akan berjalan lamban
karena tidak tersedianya tenaga pendidik yang kurang professional.[5]
Dalam
kaitannya dengan regulasi pengelolaan pendidikan maka yang dilakukan oleh
pemerintah saat ini mengacu pada UU No.20/2003 dan PP No 19/2005 tentang SNP
yang dalam pasal 49 tentang standar pengelolaan oleh satuan pendidikan yang
intinya menyebutkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah
menerapkan pola Manajemen Berbasis Sekolah, sedangkan untuk satuan pendidikan
tinggi menerapkan pola Otonomi Perguruan Tinggi. Standar pengelolaan oleh
satuan pendidikan diantaranya satuan pendidikan harus memiliki pedoman yang
mengatur tentang : kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus; kalender
pendidikan/akademik; struktur organisasi; pembagian tugas diantara pendidik;
pembagian tugas diantara tenaga kependidikan; peraturan akademik; tata tertib
satuan pendidikan; kode etik hubungan; biaya operasional satuan pendidikan.
Bagi individu kemampuan untuk belajar secara terus menerus akan memberikan
kontribusi terhadap pengembangan kwalitas hidupnya.Sedangkan bagi masyarakat,
belajar mempunyai peran yang penting dalam mentransmisikan budaya dan
pengetahuan dari generasi kegenerasi.[6]
Kemudian
standar pengelolaan oleh pemerintah daerah (pasal 59) meliputi penyusunan
rencana kerja pendidikan dengan memprioritaskan: wajib belajar; peningkatan
angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah; penuntasan
pemberantasan buta aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan; peningkatan
status guru sebagai profesi; akreditasi pendidikan; peningkatan relevansi
pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat; dan pemenuhan standar pelayanan
minimal (SPM) bidang pendidikan.
C.RELEVANSI
PENDIDIKAN
1.Belum
menghasilkan Life Skil
Dalam kaitannya dengan life skill
yang dihasilkan oleh peserta didik setelah menempuh suatu proses pendidikan,
maka berdasarkan PP No.19/2005 sebagaimana dalam pasal 13 bahwa:1) kurikulum
untuk SMP/MTs/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/MA/SMALB atau bentuk
lain yang sederajat, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukan
pendidikan kecakapan hidup. 2) pendidikan kecakapan hidup yang dimaksud
meliputi kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional.
Selain itu ditetapkan pula standar
kompetensi lulusan, dalam pasal 26 ditetapkan sebagai berikut: 1). Standar
kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakan
dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan
untuk hidup mandiri, dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2). Standar
kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk
meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, akhlak mulia, serta keterampilan hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3). Standar kompetensi lulusan
pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan
kecerdasan, pengetahuan kepribadianm akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. 4).
Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia,
memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan sikap untuk menemukan,
mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi
kemanusiaan.
2.Belum
berbasis Masyarakat
Struktur
kurikulum yang ditetapkan berdasarkan UU No.20/2003 dalam Pasal 36 tentang Kurikulum
menyebutkan: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar
nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum
pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman
dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan
minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan
pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; g. perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; h. agama; i. dinamika perkembangan global;
dan j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (4) Ketentuan mengenai
pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3.Belum
Optimal Kemitraan dengan dunia Usaha dan Industri
Berkaitan
dengan peranan masyarakat dalam pendidikan dalam UU No.20/2005 Sisdiknas pasal
54 tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Pendidikan menyebutkan : (1) Peran
serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat
dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
(3) Ketentua mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
penjelasan dan uraian di atas dapatlah di tarik sebuah kesimpulan bahwa
sistim pendidikan di Indonesia mengalami masalah atau problem antara lain:
1)
Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung,
2) Kerusakan sarana dan prasarana,
3) Kekurangan tenaga guru,
4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal,
5) Proses pembelajaran yang konvensional,
6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai,
7) Otonomi pendidikan.
8)Keterbatasan anggaran
9) Mutu SDM Pengelola pendidikan
10) Life skill yang dihasilkan tidak sesuai kebutuhan
11) Pendidikan yang belum berbasis masyarakat dan lingkungan
12) Kemitraan dengan DU/DI
2) Kerusakan sarana dan prasarana,
3) Kekurangan tenaga guru,
4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal,
5) Proses pembelajaran yang konvensional,
6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai,
7) Otonomi pendidikan.
8)Keterbatasan anggaran
9) Mutu SDM Pengelola pendidikan
10) Life skill yang dihasilkan tidak sesuai kebutuhan
11) Pendidikan yang belum berbasis masyarakat dan lingkungan
12) Kemitraan dengan DU/DI
B. PEMECAHAN MASALAH DAN SARAN-SARAN
Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap
tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian masalah mendasar. Sehingga dalam hal
ini diantaranya secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Dengan demikian, penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital). Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat sebagai bentuk perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam bidang pendidikan. Sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah dengan memberikan tauladan tentang aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Dengan demikian, penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan sebagai salah satu bentuk kewajiban negara kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital). Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat sebagai bentuk perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam bidang pendidikan. Sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah dengan memberikan tauladan tentang aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat
terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai
pemimpin. Rasulullah Saw bersabda: Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan
Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya) (HR. Muslim).
Kedua,
solusi teknis, yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal
dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya:
Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar.
Secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. merekrut jumlah tenaga pendidik sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar.
[1] . Muhaimin.Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam,PT Rajagrafindo Persada Hal VII Th 2009
[4] .Ahmad Munjin Nasih dan Lilik Nur
Kholidiah,Metode dan Teknik Pembelajaran, Bandung, Cet, 1,Hal 115,Th 2009.
[6] .Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni,
Teori-teori Belajardan Pembelajaran, Jakarta, Ar-Ruzz Media, Hal 47 Th 2010.