Sabtu, 11 Februari 2012

MAKALALAH ANALITIK & STRUKTURALISME


BAB I
PENDAHULUAN

            Salah satu perkembangan terbaru dalam ilmu filsafat disebut “Filsafat Analitik”. Filsafat analitik bukan suatu filafat sistematik sebagaimana idealism, realism, atau pragmatism. Sungguh, kebanyakan ahli filsafat analitik bekerja dengan hati-hati untuk menanggalkan identitas sebagai filsafat sistematis, mereka berpendapat bahwa pendekatan sistem dalam filsafat  lebih banyak membawa masalah daripada memberikan solusi kepada masalah-masalah manusia.
            Filsafat analitik mungkin lebih baik dilihat sebagai suatu pemberontakan terhadap tujuan dan metode filsafat tradisional. Filsafat analitik bukan sebagai suatu bentuk aliran filsafat, tetapi lebih pada suatu pendekatan dalam berfilsafat.
            Pada pendekatan analitik linguistik, untuk menguji rasionalitas yang berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan, dan menguji bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain. Misalnya kita memperkenalkan konsep “ cara belajar siswa aktif” . Dengan menggunakan tata bahasa dan logika, kita kaji konsep tersebut dengan cara menganalisis dari sudut pandang tertenu. Pendekatan analitik linguistik menguji secara logis konsep-konsep pendidikan seperti “manusia seutuhnya”, “tujuan pedidikan”, “pendidikan seumur hidup”, kedewasaan”, dll.
            Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat)












BAB II
FILSAFAT ANALITIK

A.
Konsep Dasar

Salah satu perkembangan terbaru dalam ilmu filsafat disebut “Filsafat Analitik”. Filsafat analitik bukan suatu filafat sistematik sebagaimana idealism, realism, atau pragmatism. Sungguh, kebanyakan ahli filsafat analitik bekerja dengan hati-hati untuk menanggalkan identitas sebagai filsafat sistematis, mereka berpendapat bahwa pendekatan sistem dalam filsafat  lebih banyak membawa masalah daripada memberikan solusi kepada masalah-masalah manusia (Knight:1982).
”Klarifikasi” adalah satu kesamaan tema yang sederhana dalam filsafat analitik. Asumsi yang mendasari  dari para analis yaitu kebanyakan masalah-masalah dalam filsafat pada masa lalu bukan benar-benar masalah yang berfokus pada kenyataan terakhir atau kebenaran, kebaikan, dan keindahan; akan tetapi masalah-masalah berada pada  kerancuan bahasa, ketidaklurusan atau ketidakjelasan makna, dan konsep yang membingungkan. Pengetahuan sejati, sebagaimana yang diklaim oleh filsafat analitik merupakan urusan ilmu pengetahuan (business of science) daripada sebuah filsafat.  Aturan yang sesungguhnya dari filsafat adalah ”klarifikasi yang kritis”.
            Filsafat analitik mungkin lebih baik dilihat sebagai suatu pemberontakan terhadap tujuan dan metode filsafat tradisional. Filsafat analitik bukan sebagai suatu bentuk aliran filsafat, tetapi lebih pada suatu pendekatan dalam berfilsafat.

            Model filsafat analitik terdiri dari dua golongan besar yaitu :

1.
ANALITIK LINGUISTIK


Model  analitik linguistik mengandung  arti bahwa filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah. Para filosof memakai metode analitik  linguistik untuk  menjelaskan arti sebuah istilah dan pemakaian bahasa. Beberapa filsuf mengatakan bahwa analisis tentang arti bahasa merupakan tugas pokok filsafat dan tugas analisis konsep sebagai satu-satunya fungsi filsafat. Para filsuf analitik seperti G.E.Moore, Bertrand Russell, G.Ryle, dan yang lainnya berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti istilah atau ungkapan yang dipakai dalam ilmu pengetahuan dan dalam kehidupan sehari-hari.
Filsafat analitik linguistik bukan merupakan suatu bangunan pengetahuan, melainkan suatu aktivitas yang bertujuan menjernihkan istilah-istilah yang dipergunakan.
            Analisis linguistik telah berkembang pada awal abad ke-20 Inggris. Hal ini didorong oleh Bettrand Russell dan Alfred North Whitehead dalam karyanya Principia Mathematica . Russell dan Whitehead menggunakan matematika ke dalam bahasa logika. Ide-ide mereka adalah bahwa matematika memiliki kejelasan dan logika yang tidak bisa ditemukan dalam penggunaan bahasa yang bersifat umum. George Edward Moore mngambil jalan yang agak berbeda dengan whitehead danRussell, mengklaim bahwa analisis bahasa biasa (ordinary language) dan pemahaman umum (common sense), yang lebih dari bahasa saintifik-matematis, seharusnya menjadi point utama dalam analisis linguistik. Barangkali orang yang paling berpengaruh terhadap gerakan analitik adalah  Ludwig Wittgenstein, yang telah mempublikasikan karyanya dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus pada awal abad ke-20. Wittgenstein pada masa mudanya dipengaruhi oleh Russell gurunya dan kemudian telah mempengaruhi filosof-filosof positivistic perkumpulan Vienna (Vienna Circle).


2.
ANALITIK POSITIVISTIK LOGIS


Positivisme merupakan salah satu akar utama dari filsafat modern selain analisis linguistik. Para postivitis Perancis abad ke-19, di bawah kepemimpinan Auguste Comte, berpegang bahwa pengetahuan (knowledge) harus didasarkan pada persepsi rasa (sense perception) dan investigasi ilmu pengetahuan (science) yang objektif,             Positivisme menjadi tempat berkumpul bagi kelompok ilmuwan abad 20 yang dikenal dengan nama ”Perkumpulan Vienna (Vienna Circle)”  . Kelompok ini terdiri dari ilmuwan ahli matematika, ahli logika simbol (symbolic logician) yang tertarik pada filsafat. Perkumpulan Vienna tersebut melihat filsafat sebagai logika sains dan bentuk pemikiran mereka yang kemudian dikenal sebagai positivisme logis.
Pada dasarnya logical positivisme berfikir bahwa tidak ada dalil yang dapat diterima dengan penuh arti kecuali jika dapat diverifikasi dengan alasan-alasan formal  (yaitu : logika dan matematika) atau diverifikasi pada tataran empiris, atau data yang nyata.
Model analitik positivistik logis dikenal dengan neo positivism dikembangkan oleh Bertrand Russell yang berakar pada dan meneruskan filsafat positivisme dari Comte yang merupakan peletak dasar pendekatan kuantitatif dalam pengembangan ilmu (science), dengan meletakkan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu.
            Prinsip dan prosedur dalam ilmu alam dan ilmu sosial,yang berasal dari asumsi John Stuart Mill (1843), terus hidup sampai sekarang sebagai paradigm metodologis. Mill tidak membedakan metodologi ilmu social dan ilmu kealaman.

B.
Tokoh-Tokoh dan Pandangannya

George Edward Moore (1873-1958)

Suatu ketahanan dari ”akal sehat (common sense)” adalah salah satu ide terbesar  Moore. Pada dasarnya, Moore tertarik pada sesuatu yang kita sebut ”ordinary life”. Moore percaya bahwa sebagian besar akal sehat (common sense) adalah sesuatu yang benar dan bahwa kita tahu apa yang kita bicarakan tentang kebiasaan, bahasa, dan  akal sehat. Kebanyakan ahli filsafat, selain Moore, telah membuat suatu cara keluar dari perdebatan tentang akal sehat. Moore berfikir cara yang dapat memperjelas terhadap pemahaman yang lebih baik terhadap arti kebenaran dan kebenaran dari apa yang kita katakan dan kita tulis.


Bertrand Russell (1872-1970)

Kalau Moore dihormati dengan filsafat analitiknya yang mencoba menganalisis maksud-maksud dari kata-kata biasa dan akal sehat, Russell mengembangkan sebuah analisis logika formal yang akrab disebut ilmu pasti dan keharusan sebuah perbendaharaan kata yang tepat. Dalam bukunya Principia Mathematica  yang ditulis oleh Russell dan Alferd, matematika dapat menyederhanakan untuk suatu bahasa logika. Russell memastikan bahwa matematika memberi kita suatu kejelasan dan logika yang tidak dapat ditemui dalam penggunaan bahasa pada umumnya, kita perlu untuk mencoba membuat hal tersebut lebih tepat dan jelas. Aristoteles menyebut konsep ini dengan nama metode silogisme ( argumen deduktif) .


Ludwig Wittgenstein (1889-1951)

Dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus, Ludwig berargumentasi bahwa ilmu-ilmu alam adalah sumber utama dari kebenaran dalil dan maksud utama dari ditemukannya fakta-fakta baru. Ilmu Filsafat tidak seharusnya melihat penemuan kebenaran , akan tetapi lebih merupakan kegiatan untuk memecahkan dilema-dilema, memperjelas masalah-masalah, dan memperjelas pemikiran-pemikiran yang berasal dari sumber-sumber yang lain. Para ahli filsafat tidak seharusnya terfokus pada diri mereka sendiri dengan kebenaran dari data yang ada, tetapi harus selalu dihubungkan dengan “bahasa” dan pernyataan-pernyataan sekitar data tersebut. Kesimpulannya kita perlu menetapkan apa yang dapat dan tidak dapat dikatakan, itulah yang disebut “limits of language”  
Tujuan filsafat analitik secara ringkas digambarkan oleh Wittgenstein sebagai berikut : Filsafat bertujuan pada klarifikasi filsafat yang bersifat logis- Filsafat bukanlah sebuah tubuh dokrin tetapi sebuah aktivitas- sebuah karya filsafat secara essensial terdiri dari uraian – Filsafat tidak menghasilkan dalil-dalil filsafat (philosophical prepositions) tetapi lebih kepada klarifikasi dalil-dalil tersebut – Tugas filsafat adalah adalah  membuat jelas dan memberikan batas-batas yang jelas terhadap sesuatu.

C.
Implikasi Pada Pendidikan

Pada pendekatan analitik linguistik, untuk menguji rasionalitas yang berkaitan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan pendidikan, dan menguji bagaimana konsistensinya dengan gagasan lain. Misalnya kita memperkenalkan konsep “ cara belajar siswa aktif” . Dengan menggunakan tata bahasa dan logika, kita kaji konsep tersebut dengan cara menganalisis dari sudut pandang tertenu. Pendekatan analitik linguistik menguji secara logis konsep-konsep pendidikan seperti “manusia seutuhnya”, “tujuan pedidikan”, “pendidikan seumur hidup”, kedewasaan”, dll. 
Dalam konteks pendekatan positivistik logis, menurut Kunto Wibisono (1997), positivism merupakan suatu model dalam pengembangan ilmu pengetahuan (knowledge) yang di dalam langkah kerjanya menempuh cara melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi sebagaimana diterapkan dalam ilmu kealaman, dan model ini dikembangkan dalam ilmu-ilmu sosial.  Positivisme mempergunakan presisi,verifiabilitas,konfirmasi, dan eksperimentasi dengan derajat optimal (Saduyoh:22), dengan sejauh mungkin dapat melakukan prediksi dengan derajat yang optimal pula.
Implikasi lain dari filsafat analitik menurut R.S.Peters (seorang filosof analitik terkemuka) , mengemukakan  bahwa  filsafat pendidikan terdiri dari formulasi tingkat tinggi (high level) yang akan memandu praktek pendidikan dan membentuk organisasi sekolah.
            Para analis kemungkinan memberikan perhatian terhadap pernyataan-pernyataan yang umum (typical) semacam itu sebagaimana, ”guru-guru seharusnya memberikan pengalaman kehidupan nyata pada siswa”  atau ”kurikulum” seharusnya didasarkan pada situasi kehidupan yang sebenarnya” . Pertama, pernyataan –pernyataan ini seharusnya dikenal sebagai preskriptif. Kedua, istilah-istilah deskriptif  ”pengalaman kehidupan nyata” dan ”seperti kehidupan yang sebenarnya ” harus diuji untuk menetukan artinya.

D.
Kritik Terhadap Filsafat Analitik

Filsafat analitik di satu sisi memiliki sejumlah kelemahan yang cukup mencolok, apabila analisis dilihat sebagai suatu cara untuk berfilsafat.
            Kritik Pertama; ada banyak kritik bahwa filsafat analitik terlalu sempit dan terbatas untuk menjawab tuntutan yang begitu besar dari kehidupan modern, masyarakat, dan pendidikan.
            Kritik kedua; Filsafat analitik membuat kerancuan antara ”sarana ” dan ”tujuan” filsafat. Berkaitan dengan kebingungan ”sarana ” dan ”tujuan”, John Wild mengilustrasikan seperti  ”orang yang begitu tertarik pada titik dan noda debu yang ada di kacamatanya sehingga ia kehilangan semua ketertarikannya untuk melihat yang lain melalui kacamata tersebut.
Kritik ketiga; Filsafat analitik sebagai cara total pendekatan terhadap isu-isu filsafat berakar dari kebutaannya terhadap perkiraan – perkiraan metafisik dan epistemologi.
Kritik lain yang disampaikan terhadap paham positivism disampaikan oleh Lincoln dan Guba dalam Uyoh (2004), bahwa positivisme menghasilkan penelitian dengan responden manusia, namun kurang mengindahkan kemanusiaan. Hal ini dapat dikatakan bahwa pendekatan positivism tidak memiliki implikasi etis, selain itu positivism kurang berhasil menggarap formulasi empiris dan konseptual dari berbagai bidang ilmu (terutama ilmu sosial dan humaniora).
















BAB III
FILSAFAT STRUKTURALISME

Pengantar

            Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040)
            Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040) 

Ferdinand de Saussure

            Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk menyimak pemikiran Ferdinand de Saussure yang banyak disebut orang sebagai bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang mengungkapkan strukturalisme.
            Banyak hal yang menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak strukturalisme. Selain ia sebagai bapak strukturalisme ia juga sebagai bapak linguistik yang ditunjukkan dengan mengadakan perubahan besar-besaran di bidang lingustik. Ia yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural.
            Ia mengatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu bahasa, juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap. Menurutnya ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke dalam analisis semiotik, sering digunakan pola ilmu bahasa.
            De Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain sebagainya. 

            Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut:

1.
Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidah-kaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual.

2.
Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat asosiatif (sistem).

3.
Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurutnya setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda (imaji bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai contoh kalau kita mendengan kata rumah langsung tergambar dalam pikiran kita konsep rumah. 


            Strukturalisme termasuk dalam teori kebudayaan yang idealistik karena strukturalisme mengkaji pikiran-pikiran yang terjadi dalam diri manusia. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda  (termasuk didalmnya upacara-upacara, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa.

            Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalammemahami kebudayaan, yaitu:

1.
Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifié, signified, petanda). Penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar.

2.
Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature. Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsur-unsur realitas obyektif diberikan signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam.

3.
Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa, menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar.


Pierre Bourdieu

            Bourdieu pada awalnya menghasilkan karya-karya yang memaparkan sejumlah pengaruh teoritis, termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan eksistensialisme, terutama pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis Althusser.
            Pada tahun 60an ia mulai mengolah pandangan-pandangan tersebut dan membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan teori obyektivis dan teori subyektivis sosial yang dituangkan dalam buku yang berjudul ”outline of a theory of practice” dimana didalamnya ia memiliki posisi yang unik karena  berusaha mensintesakan kedua pendekatan metodologi dan epistemologi tersebut.
            Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang mengatasi berbegai pertentangan di antara penjelasan-penjelasan sebelumnya. Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan-persoalan baru yang diturunkan dari pemikiran-pemikiran terdahulu.
            Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan Modal. Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut dan akan dijelaskan interaksi ketiga konsep ini dalam masyarakat.
            Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis habitus adalah ”produk internalisasi struktur” dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai ”struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan”.
            Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda-beda pada setiap orang tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama.
           

            Habitus menjadi konsep penting baginya dalam mendamaikan ide tentang struktur dengan ide tentang praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam berbagai cara, yaitu:

1.
Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara yang khusus (gaya hidup)

2.
Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi)

3.
Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi)

4.
Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis

5.
Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup dan jenjang karier.


            Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu. Penghubi posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghubi posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan.
            Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri.
            Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan yang lain.
            Bourdieu menyusun 3 langkah proses untuk menganalisa lingkungan, pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik). Langkah kedua, menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.
            Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri, hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status.

            Ada 4 modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Ketiga, modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Dan keempat adalah modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu:

1.
Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya

2.
Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi

3.
Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)

4.
Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis.

5.
Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik dan buruk.

            Modal kultural ini terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan dalam diri seseorang. Setelah dibahas tentang ketiga konsep diatas maka akan dijelaskan hubungan ketiga konsep tersebut.  
            Habitus mendasari field yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi obyektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individu. Field semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakatyang terbentuk secara spontan.
            Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang menerangkan praktis sosial dengan rumus setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.















BAB IV
PENUTUP

Filsafat analitik mungkin lebih baik dilihat sebagai suatu pemberontakan terhadap tujuan dan metode filsafat tradisional. Filsafat analitik bukan sebagai suatu bentuk aliran filsafat, tetapi lebih pada suatu pendekatan dalam berfilsafat.
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan.
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis.























DAFTAR PUSTAKA

Anna Poedjiadi (1999). Pengantar Filsafat Ilmu Bagi Pendidik. Yayasan Cendrawasih.Bandung

George R.Knight (1982). Issues and Alternatives in Educational Philosophy. Andrews University Press, Berriens Springs Micigan

Howard A.Ozman. (1990).Philosophical Foundations of Education. Merrill Publishing Company

Redja Mudyahardjo (1995). Filsafat Pendidikan Sebuah Studi Akademik. Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan FIP IKIP Bandung.

Uyoh Sadulloh (2003). Pengantar Filsafat Pendidikan. Alfabeta.Bandung

Bagus, Loren. 1996.”Kamus Filsafat”. Jakarta: Pustakan Gramedia
 
Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes. 2005.”(Habitus x Modal) +
Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre
Bourdieu”. Yogyakarta: Jalasutra
 
Lechte, John. 2001.”50 Filusuf Kontmporer: Dari Strukturalisme sampai
Postmodernitas”. Yogyakarta: Kanisius
 
Sutrisno, Mudji, Hendar Putranto. 2006.” Teori-teori Kebudayaan”. Yogyakarta:
Kanisius


Tidak ada komentar:

Posting Komentar